Jumat, April 17, 2009

Jalan(tiga)ku

Satu setengah tahun kami tinggal di rumah petak kontrakan berukuran kecil di bilangan Kramat Pulo Gg.17. Lingkungannya yang sudah sesak dan kumuh tidak menyurutkan kami untuk numpang hidup di sana, itupun karena keadaan pula yang memaksa. Kami tidak punya lagi uang buat ngontrak rumah yang lebih layak. Untungnya anak kami yang gede diterima masuk di sebuah SMP Negeri di daerah Mardani, dan anak yang ketiga masuk di SD Negeri tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Kalau yang kedua memang semenjak kecil sudah diurusin oleh orang tua saya di Bandung, dan disekolahin di sana.
Di Jakarta sudah diberlakukan peraturan bahwa SD dan SMP Negeri tidak dipungut biaya. Alhamdulillah saya ucapkan kepada pemerintah yang sedikit meringankan beban di pundak kami.
Namun tidak berlangsung lama ketenangan kami, karena pada bulan ke 2 kontrak di sana, anak kami yang gede kena hepatitis, karuan kami harus comot sana comot sini nyari biaya untuk ngobatinnya, yang berlangsung sekitar 4 bulanan. Korbannya, uang buat bayar kriditan motor terpakai terus. Semenjak itulah kami diuber-uber penagih dari dealer motor. Apa boleh buat kami cuman bisa janji-janji terus, sambil merayu-rayu para penagih biar tidak galak-galak dan mau ngertiin keadaan kami.
Jangankan untuk bayar cicilan motor, buat makanpun kami mengandalkan dari pendapatan ngojek malam itu, yang keseringannya kurang atau tidak dapat sama sekali. Hal itu kerap sekali terjadi, yang pada akhirnya keadaan di rumahpun rasanya sudah tidak nyaman lagi, terutama yang saya rasakan sebagai pribadi, karena tiap hari dalam keadaan ngantuk berat habis begadang semalaman, pulang disediain muka istri yang kusut dan manyun (cemberut) karena jatah masak tidak mencukupi. Dan sering pula pagi-pagi begitu kami bertengkar karena itu, dan sayapun terpaksa berangkat kesiangan masuk kantor di RS itu. (Maaf, ya teman-teman sekerjaan dan Bapak-bapak Bos).
Setiap harinya, saya hanya bisa tidur di tempat kerjaan RS saja, yaitu jam makan siang dan sore sesudah bubaran kantor sampai menjelang Maghrib, karena selepas Maghrib sayapun melanglangbuana di jalanan Jakarta lagi. Untungnya saya sudah terbiasa waktu Pramuka dulu kalau jadwal makan saya tidak teratur, sekarang malah tambah tidak teratur lagi. Tapi saya selalu berdo’a mudah-mudahan penyakit-penyakit seperti maag, types dan sejenisnya tidak sampai menghinggapi saya. Dan rupanya mereka ternyata ngertiin juga kalau saya jarang makan karena terpaksa dan tidak punya uang buat berobat ke dokter.
Karena hubungan baik antara saya dengan kenalan-kenalan dari Angkatan cukup terjaga baik, sesekali alhamdulillah saya suka dipanggil ke Pusat Sejarah TNI yang ada di jalan Gatot Subroto untuk membuat majalah, buku dan lainnya. Dan saya pun kenal dengan Kepalanya, Waka nya, staf-stafnya sampai kepada sebagian karyawannya di sana. Mereka itu ternyata hanya kelihatan ‘sangar’ di luar nya saja, saat berpakaian dinas dan lagi tugas. Tapi kalau sedang tidak tugas seh, kayak rakyat biasa saja rupanya. Mungkin di semua angkatan juga begitu kayaknya. Penilaiain ini mungkin tidak berlebihan karena di kantor Pusat Sejarah ini karyawannya merupakan perwakilan dari 3 Angkatan Bersenjata, kecuali kepolisian.
Yang mengharukan sekali dan saya sangat salut sekali kepada Wakanya yang dari Angkatan Udara, berpangkat Kolonel, walaupun baru beberapa kali bertemu, itupun diperkenalkan oleh bawahannya yang berpangkat Kapten. Beliau begitu respek dan mau memperhatikan keadaan perekonomian keluarga saya. Buktinya…. (walaupun dengan takut-takut dan menghiba pada awalnya) saya meminta bantuan pada beliau untuk meminjamkan uang buat membeli rumah over kredit di perumahan daerah Cibarusah, Bekasi. Tanpa takut-takut dan ragu-ragu, beliau meluluskannya. Bayangin, baru beberapa kali bertemu, sudah mau meminjamkan uang sekian juta rupiah kepada saya, yang bukan bawahannya, yang bukan berasal dari kantor beliau. Tanpa sedikitpun jaminan atau apalah namanya, begitu mudahnya menyodorkan uang kepada saya. Subhanallah, sungguh-sungguh luar biasa. Beliau hanya menanamkan kepercayaan semata kepada saya. Insya Allah Pak, kepercayaan itu tidak akan saya kotorin sedikitpun buat Bapak.
Bermodal dari uang itu, kami membeli rumah over kredit yang masih harus melanjutkan membayar kreditnya sekitar 7 tahun lagi. Tinggallah kami di sana sampai saat ini.

(masih bersambung nih….. )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pepatah

Kehormatan adalah ibarat sebuah pulau yang sangat curam tanpa tebing, sekali jatuh dari pulau itu tak dapatlah orang mendakinya kembali.