Kamis, Juni 10, 2010

Hallo... Tipuan

“Hallo….. selamat siang, de Kiki apa kabar”, terdengar sapaan ramah penuh rayuan dari hp yang kupegang, memecah keriuhan obrolan aku bersama istriku di dalam kamar siang itu. Anak-anakku sedang pada bercanda di ruang tengah yang merangkap sebagai warung sederhana punya keluarga kami.
“Baik, maaf ini nomornya anak, tapi sekarang saya pake”, jawabku, sambil mendekapkan lebih dekat hp ke telinga. Ingin mendengarkan lebih jelas, suara siapa dari ujung sana.
“Oh, ini orang tuanya de Kiki, sekarang di Soreang, Ciparay, Cimahi atau dimana Pak?” suara itu terdengar lagi. Seorang lelaki sudah berumur, berwibawa dan ramah, itu taksiranku. Menyebutkan nama-nama daerah itu karena nama-nama itu ada di sekitar daerah tempat tinggal anakku yang dititipkan pada kakek-neneknya di Bandung. Dimana anakku meregistrasi kartu teleponnya di sana.
“Saya di Bekasi, Anda siapa ya?” jawabku, sambil makin menempelkan hp di telinga. Masih aku gak tahu suara siapa ini. Ada hubungan apa orang dewasa ini dengan anakku yang baru berumur 12 tahun.
“Oh, begini Pak, kami dari Telkomsel. Dalam rangka Survey jumlah pemakai telepon selular di Indonesia, nomor Anda terpilih dari 200 juta pemakai, untuk mendapatkan hadiah sebesar 15 juta rupiah,” jawab suara lelaki dari seberang sana. Suaranya agak berat, tapi lancar sekali.
Dan…. angka yang disebutkan di belakang itu yang tiba-tiba membuat aku agak kaget. Serta merta aku menempelkan telunjuk di mulutku yang terkatup. Istriku mengerutkan dahi memandangku dan bertanya dengan isyarat, tanpa suara: “Siapa?”
“Serius Pak?” tanyaku ke benda yang bisa bersuara yang aku pegang itu.
“Serius. Bapak akan mendapatkan rezeki yang tidak disangka-sangka. Hadiah uang sebesar 15 juta rupiah, tidak dipotong pajak, atau biaya lain, alias bener-bener bullet 15 juta Pak,” ucapnya
“ Kalau gak percaya, silakan datang ke gerai Telkomsel di jalan Soekarno-Hatta, tanyakan nama saya Haji Dulloh (tentunya nama samaran lah..)..” sambungnya.
Bener-bener, detak jantungku jadi tidak beraturan, aliran darah panas mulai deras ke seluruh tubuh. Otak ku segera muter ke mana-mana. Istriku mendekati, dan menempelkan telinganya di sisi yang lain dari hp yang aku pegang. Dia juga terpancing ingin tahu rupanya.
“Kira-kira mau diapakan uang ini Pak? mau pakai sendiri, atau mau disumbangkan ke yayasan yatim piatu, rumah jompo….”, begitu suara laki-laki tadi melanjutkan.
“Sebentar Pak,” aku memotong.
“Dalam rangka apa tadi Pak?” Aku ingin mendengar lagi sejelas-jelasnya, karena tiba-tiba aku merasa tidak percaya dengan kenyataan yang begitu mendadak ini. Aku bersyukur tidak sempet pingsan mendengar semua ini, tidak seperti rakyat-rakyat kecil yang ada di tv-tv yang mendapatkan ‘Uang Kaget’ atau ‘Bedah Rumah’.
“Dalam rangka Survey jumlah pemakai telepon selular di Indonesia, yang sudah mencapai lebih dari 200 juta pemakai, dan Anda terpilih untuk mendapatkan hadiah sebesar 15 juta rupiah”, jawabnya lagi, dengan nada suara yang agak ditekan, untuk menegaskan.
“Kalau betul, Alhamdulillah bener, memang kebetulan kami sedang memerlukan dana sekarang ini Pak. Biar akan saya pake sendiri saja”, ucapku lancar, seiring dengan ucapan dalam hati, puji syukur ke hadirat Illahi Rabbi dengan tibanya rejeki nomplok dan mendadak ini.
“Baik, Bapak Bekasinya dimana ya?” tanya suara itu lagi.
“Cikarang”, jawabku.
“Wah jauh juga kalau diantar ya, gimana kalau kita transfer saja, Bapak punya nomor rekening?” tanyanya.
“Punya”, jawabku.
“ATM?”
“Punya”, jawabku.
“Masih berlaku Pak?”
“Masih dong”, jawabku dengan bangga…. Meskipun sebetulnya itu ATM gak pernah terisi dengan uang diatas seratus ribu rupiah, kalau pun pernah…. ya… gak pernah bisa bertahan disana lebih dari dua hari.
Gajianku pada tiap bulan selalu dimasukkin ke ATM itu oleh Bendahara Kantor. Tapi begitu mau pulang dari kantor, pasti aku langsung kuras lagi itu ATM, karena istriku lebih suka suaminya bawa uang cash dikantong. Karena memang letak ATM di daerah kami jauh bener, mesti naek ojek dari rumah ke depan pintu gerbang perumahan, lalu disambung lagi dengan angkot ke pasar yang ada ATMnya….. bulak balik aja bisa ngabisin uang 15 ribuan lah. Belum kalau pengen minum karena haus di jalanan, belum lagi kalo….. kalo… kalo….
“Boleh Bapak sebutkan nomor rekeningnya, biar kami bisa segera mentransfer dananya.” Suara itu kembali memecah angan-anganku yang sempat melayang sebentaran.
“Saya cari dulu Pak, nanti saya telpon Bapak,” jawabku.
“Oke, saya tunggu Pak,” jawab dari ujung sana.
Dan aku tekan gambar telepon yang memancarkan cahaya warna merah pada deretan tuts-tuts di hp ku untuk memutuskan pembicaraan sesaat aku dengan lelaki yang mengaku bernama Pak Haji Dulloh itu.
Sejenak aku terdiam. Merasakan gejolak, yang meletup-letup dalam dadaku. Gejolak kegembiraan yang begitu tiba-tiba menghampiri aku.
“Yah, siapa tadi?” tanya istriku menyadarkan aku. Istriku biasa memanggil aku ‘Ayah’, untuk membiasakan anak-anakku dengan memanggil aku Ayah, bukan Bapak, Abi atau yang lainnya.
Aku terdiam sejenak. Baru setelah kesadaranku pulih, aku ceritakan semua tanya jawab ditelpon tadi secara utuh.
“Alhamdulillah…. Yah….”, istriku mendesah. Sebersit cahaya kegembiraan terpancar di wajahnya.
“Ternyata De…. Gak disangka-sangka, ada aja rizki buat lahiran Ade…” ucapnya berbinar-binar, sambil tangan mengelus-ngelus perutnya yang buncit. Memang istriku sekarang sedang hamil tua, tinggal menghitung hari untuk segera melalui proses persalinan. Padahal di dompetku belum sepeserpun uang tersisih buat jatah lahiran itu. Dari pagi berdua, kami sedang ngobrol-ngobrol tukar pikiran cara mencari uang yang bisa segera dilakukan.
Dalam tempo singkat kami segera memutuskan untuk segera berangkat ke ATM, siapa tahu memang disana peruntungan kami, disamping itu memang kami sudah berniat juga untuk ngambil uang di ATM pada pagi hari itu untuk keperluan belanja hari ini. Setelah mesenin biar jagain adik-adiknya kepada anakku yang paling tua, dengan scooter yang kami punya, kami segera melesat menuju pasar terdekat. Tapi melesatnya tidak seperti burung gitu….. karena aku sadar, aku bawa motor dengan tumpangan istri yang lagi hamil tua. Dua nyawa yang aku bawa.
Selama dalam perjalanan, istriku tak habis-habisnya menasihati aku biar aku berterima kasih sekali sama Pak Haji Dulloh yang akan memberikan uang buat biaya persalinan anak kami. Tapi sebelum diambil buat keperluan kami, tak lupa akan kami sisihkan sebagian uang itu untuk anak-anak tetangga kami yang yatim atau piatu, sebagian lagi buat ke mesjid, biar maslahat uang yang kami terima nanti, pesan istriku.
Tiba di Pasar, kami segera menuju ke deretan mesin ATM yang letaknya ada di pojokan ruko-ruko. Ramai sekali pengunjung di sana. Sambil menunggu agak sepian, aku tinggalkan istriku di depan gerai ATM itu untuk membeli minuman ringan dan sebuah ballpoint untuk mencatat nomor rekening tabunganku yang aku pernah simpan di dalam hp.
Betul juga, sekembalinya aku dari pasar, suasana di gerai ATM sudah mulai sepi. Kami segera mendekati mesin ATM. Dan menguras uang kami di mesin itu yang hanya berisi seratus enam puluh empat ribu rupiah. Uang yang bisa dikeluarkan hanya seratus ribu, dan sisanya gak bisa keluar, alias mengendap di mesin itu. Hal ini kami lakukan atas kesepakatan bersama, karena buat jaga-jaga, takut kalau Pak Haji Dulloh itu adalah seorang penipu. Maaf, bukannya kami curiga, tapi sekali lagi buat jaga-jaga aja. Aku pernah mendengar sas sus dari sana sini tentang kejadian penipuan lewat telepon.
“Nomor yang Anda tuju tidak bisa dihubungi, silakan tunggu beberapa saat lagi atau….” Begitu suara dari hpku ketika aku mulai mencoba menghubungi Pak Haji Dulloh.
Aku segera mematikan kembali hp ku. Mungkin sedang sibuk kali teleponnya, pikirku.
Setelah beberapa saat aku coba lagi menghubungi dia dan alhamdulillah terhubung.
“Bisa bicara dengan Pak Haji Dulloh”, sapaku kemudian.
“Saya sendiri, gimana Pak, sudah ada nomor rekeningnya?” langsung saja Pak Haji menembakku dengan pertanyaan.
“Ada, ini saya sebutkan … ”, jawabku dan aku sebutkan dengan sangat hati-hati satu demi satu angka dari nomor rekening tabunganku.
“Baik, segera akan kami transfer dananya. Bapak jauh dari ATM nya?” tanya Pak Haji.
“Kebetulan sekarang saya sudah ada di depan ATM”, jawabku.
“Oh, baiklah kalo begitu. Eh, Pak maaf, kalau boleh tahu, ada berapa saldo di rekening Bapak, untuk memastikan dana yang kami kirimkan tidak salah hitungannya”, ucap Pak Haji.
Kok pengen tahu segala tabunganku, pikirku. Tapi gak apa-apa lah…. Aku tidak menaruh curiga…
“Ah cuma sedikit Pak, ada seratus enam puluh empat ribu rupiah saja”, ucapku malu-malu.
“Oke, jadi dana bapak seratus enam puluh empat ribu rupiah bila ditambah dengan lima belas juta, jadi lima belas juta seratus enam puluh empat ribu rupiah tentunya. Betul kan Pak?
“Ya,” jawabku sambil ikut menghitung dalam hati.
“Baik, Bapak akan segera kami hubungkan dengan atasan kami yang akan membimbing Bapak dalam menggunakan ATM untuk menerima dana dari kami. Sekarang coba Bapak tekan angka satu dari hp Bapak”, ucap Pak Haji.
Aku segera menekan tuts hpku, sesuai dengan permintaan Pak Haji.
Sejurus kemudian terdengar suara lain di ujung sana. Kali ini suaranya agak lebih ringan dan mungkin orangnya lebih muda dari Pak Haji.
“Hallo, Perkenalkan nama saya Iwan Samudra (pasti nama samaran lagi), Selamat Pak, Anda akan mendapatkan hadiah uang 20 juta rupiah. Dalam rangka Survey jumlah pemakai telepon selular di Indonesia ini.”
“Hah, 15 juta apa 20 juta, mana yang bener?”, ucapku, hanya dalam hati, kok beda antara omongan Pak Haji dan Pak Iwan ini. Tensi kecurigaanku mulai bangkit. Perbedaan angka yang mereka sebutkan kalau dijadiin duit kan ada 5 juta rupiah, angka yang tidak sedikit nilainya buat selevel ekonomi aku…
“Ya Alhamdulillah, Pak, kalau beneran ada”, ucapku yang terlontar keluar.
“Ya beneran dong Pak. Sekarang Bapak sudah ada di depan mesin ATM?” jelasnya.
“Ya”, jawabku.
“Tulisan apa saja yang ada di layar?” tanya Pak Iwan.
“100 ribu, 1 juta, transfer…” ucapku belum selesai, keburu dipotong sama pak Iwan: “Sekarang tekan transfer”
Aku turutin perintah itu.
“Apa yang ada di layar sekarang?” tanyanya kembali.
“ATM Bersama…. ATM Non Bersama…..”, belum selesai juga aku membacakan semua yang tertera di layar, keburu dipotong lagi: “Tekan ATM Bersama!”
“Sudah”, jawabku setelah menuruti perintahnya.
“Sekarang masukkan angka ini Pak….. bla… bla…. Bla….”, petunjuk Pak Iwan dengan menyebutkan sederet angka, namun kini giliran aku yang memotong omongan Bapak Iwan ‘Terhormat’: “Eh entar dulu Pak, saya yang akan menerima dana transferan, kok malah disuruh transfer ke nomor rekening Bapak seh….”
Tensi kecurigaanku semakin menanjak lagi.
“Astagfirullah….. aduh, maaf, maaf Pak, saya salah ngasih tahu caranya”, ucapnya kelihatan agak kaget dicampur gugup (mungkin), dia kaget ternyata berhadapan dengan orang yang ngerti masalah transfer dan gak bisa dihipnotis begitu saja dengan suaranya yang berwibawa kayak beneran ‘Direkturnya’ Telkomsel itu.
“Bapak tekan Cancel saja. Dan ambil kartu ATMnya Pak.”
Aku ikutin aja perintah itu. Dan segera aku masukkan kembali kartu ATM ku ke mesin, dan memijit pinnya, dengan perasaan mulai gerah, mulai kesal, mulai sebel, mulai segala macam lah…
“Coba sekarang masukkan lagi kartu ATMnya, dan tekan nomor PIN”, perintah sang Direktur.
“Saya sudah masuk Pak,” ucapku agak tegas. Karena sudah mulai diliputi perasaan gak enak tadi.
“Apa yang ada di layar….?” Tanyanya.
Aku sebutkan apa-apa yang ada di layar.
“Tekan…. Lain-lain”, perintahnya.
Aku turutin.
“Sekarang apa yang ada di layar?” tanyanya lagi. Ini orang memang gak tahu apa memang mau mencairkan suasana doang atau mau dilambat-lambatain biar hipnotis dari suaranya nyampe di otakku.
Aku sebutkan lagi apa-apa yang ada di layar mesin ATM itu.
“Sekarang tekan Pembayaran pulsa”, ucap sang Direktur.
Aku turutin.
“Sekarang apa yang ada di layar?” kembali dia bertanya.
“50 ribu, 100 ribu, 200 ribu….”, jawabku, kembali pula belum selesai aku menyebutkan semua, dipotong dengan perintahnya: “Tekan 100 ribu”.
Aku turutin juga perintah itu, pengen tahu sampai dimana ini orang mau ngerjain aku.
“Apa yang ada di layar sekarang?”, tanyanya kembali.
“Dana Anda tidak mencukupi”, jawabku sesuai dengan yang tertera di layar.
“Kok gitu, bener gak Bapak mencetnya….”, tanya sang Direktur, dengan suara agak bingung campur mulai kesel kedengarannya.
“Bener….”, ucapku pendek.
“Oh, kalau begitu Bapak sudah membohongi kami, dana Bapak bukan 164 ribu, mungkin hanya 15 ribu yah…..”, ucapnya ngenye, ngledek.
“Memang iya, dana saya cuman ada 64 ribu kok”, ucapku dengan suara yang balas ngeledek.
“Kok Bapak sudah membohongi saya, berarti bapak sudah mengbohongi Telkomsel. Bapak berbohong punya dana 164 ribu….”, ucapnya mulai nyerocos kesal, tapi aku pun gak kalah, aku potong: “Saya membohongi karena curiga Bapak akan menipu saya, buktinya, katanya mau transfer uang, malah saya harus membelikan pulsa buat nomor Bapak, kok gitu caranya”.
“Memang begitu prosedurnya, Bapak selaku orang awam, harus ikut saja cara-cara yang kami terapkan”, ucapnya kesal.
“Hey, Pak, saya itu sudah tahu persis cara memakai ATM jangan coba-coba membodohi saya dengan cara-cara yang Bapak sebutkan, kalau mau menipu jangan begitu caranya,” ucapku dengan suara mulai meninggi bercampur kesal.
“Tapi bapak sudah membohongi Telkomsel, dengan memberikan keterangan palsu….”, jawabnya mulai meninggi juga, mencoba lebih tinggi dari tekanan suaraku.
“Ah sudahlah Pak, pulsa saya mau habis, kalau Bapak mau teruskan omongan kita, saya akan putus dulu, silakan pakai pulsa Bapak.” Ucapku memutuskan perdebatan itu. Aku pikir tidak ada gunanya ngotot-ngototan di telepon, tidak saling tatap mata, tidak seperti yang aku lakukan dulu waktu acara ‘Debating’ pada kegiatan pramuka. Lagian kan malu dilihatin orang yang mulai berdatangan lagi memenuhi gerai ATM di sana.
Dan ampuh juga ucapanku itu membuat semuanya berakhir. Buktinya dari mulai saat itu sampai hari ini tidak ada lagi suara lembutnya Pak Haji Dulloh ataupun Direktur Iwan Samudra. Mungkin dua-duanya sudah berlayar keliling ‘samudra’, atau bahkan sudah kelelep ditelan ‘samudra’ beneran. Wallohu alam.
Yang terpenting sekarang, aku cuman mau berbagi pengalaman pada para pembaca. Ternyata penipuan dengan telepon itu ada. Jangan sampai Anda kena hipnotis lewat telepon semacam ini. Jangan keburu ‘termakan’ oleh suara yang lemah gemulai dan angka yang berderet nol nya. Memang mereka ini professional, dari cara bicara dan kerjanya sudah berurut dan sistematis. Tapi…. masa kita tidak bisa lebih professional dari mereka?

Pepatah

Kehormatan adalah ibarat sebuah pulau yang sangat curam tanpa tebing, sekali jatuh dari pulau itu tak dapatlah orang mendakinya kembali.