Kamis, April 16, 2009

Jalan(dua)ku

Alhamdulillah, dalam masa pencarian itu seorang teman dari percetakan itu yang memang telah lebih dulu pindah kerja, menunjukkan saya untuk melamar di sebuah Koran harian terkenal punyanya Angkatan Darat, mungkin kalau anda orang lama pasti sudah mafhum. Karena Koran ini satu-satunya Koran yang diperbolehkan meliput kejadian Gestapu dulu itu. Koran itu terbit pagi, makanya di-compos nya pada malam hari sehingga jadwal kerja di RS saya tidak terganggu, dan disinipun saya bisa jalan. 12 bulan saya disana, tragedi pun datang tiba-tiba, Koran itu bangkrut. Sayapun jadi bingung lagi untuk mencari tambahan buat dapur, karena anak saya sudah 2 orang sekarang.
Alhamdulillah lagi saya dipanggil kerja malam oleh sebuah biro jasa setting-cetak, kepunyaan seorang ex PNS, yang mana kerjaannya lebih banyak dari Angkatan Darat. Dari sinilah saya mulai kenal-kenal dengan beberapa petinggi 4 Angkatan yang ada di negeri ini. Yang kadang-kadang saya tersipu-sipu malu kalau datang ke kantor mereka, yang mana saya dihormati oleh bawahan beliau-beliau, karena yang saya datangi adalah atasan mereka. Padahal saya ini apa, pangkat kopral pun (maaf) gak pernah saya sandang. Memang terkadang manusia kurang melek untuk membedakan mana orang yang bener-bener intelek atau kelihatan intelek padahal bokek kayak saya ini.
Hampir 5 tahun saya kerja di sana. Sayang sekali perusahaan itupun bangkrut juga. Ya sudahlah saya bingung lagi.
Semenjak itulah saya tidak punya kerjaan tambahan lagi, sementara kebutuhan dapur terus-terusan memaksa untuk dipenuhi dan disesuaikan dengan kenaikan harga-harga pasar.
Apa boleh buat tiap malam selepas kerja di RS itu saya mesti mencari-cari ‘mangsa’ yang mau dianterin ke suatu tempat dengan sepeda motor. Istilah ‘keren’nya jadi tukang ojek motor yang beraktivitas dari selepas Isya sampai bubaran Shubuh. Banyak sekali suka dukanya ternyata, tapi dukanya lebih banyak kalau ditimbang-timbang. Apalagi dalam bulan-bulan ini cuacanya tidak mendukung buat kerjaan kami. Hujan, hujannnn…. Terusss.
Penumpang pun lebih memilih tinggal di rumah, kalau malam hari hujan begini. Atau kalau pun terpaksa keluar, mereka lebih memilih taksi ataupun bajaj, dibanding memilih kami yang sudah berjam-jam, terkantuk-kantuk, menunggu belas kasihan mereka untuk datang memakai jasa kami. Begitulah derita para tukang ojek motor. Kalau bisa anda jangan sampai berminat menjalani profesi ini.
Dulu waktu saya di percetakan, masih bujangan, alhamduillah dari hasil keringat sendiri, dan insya Allah halal semua, saya bisa mengumpulkan uang sepeser demi sepeser dan jadilah sebuah rumah petak kecil di sebuah gang di bilangan Kampung Rawa.
Lalu kami (saya dan istri yang lagi menunggu kelahiran anak kami ke 3) pindah ke sebuah desa di ujung sana, Susukan nama desa itu, letaknya di daerah Citayam-Bogor. Trus dari sana pindah ke perumahan yang letaknya lebih ke depanan, namanya Puri Bojong Lestari. Kurang lebih 6 tahunan saya merantau di daerah itu. Untuk selanjutnya mengingat saya kecapaian kalau pulang kerja dari Jakarta yang keseringannya sampai rumah menjelang Shubuh, sementara pagi-paginya sudah mesti berangkat lagi kerja di RS. Maka kami memutuskan untuk pindah kembali ke Jakarta. Dan….. tragedipun terjadi.
Kami ditipu orang, oleh yang mau jual rumah di salah satu sudut Jakarta (ikuti postingan selanjutnya “Oh... Rumahku....”) . Hilanglah sudah rumah kami, harapan kami, uang kami, semuanya, amblas…. blas… blas… Yang akhirnya kami hanya tinggal di sebuah rumah petak kecil yang statusnya kontrak.
Memang Jakarta ini ganas, ternyata saya yang sudah lama merantau di kota ini, apalagi istri saya yang asli dilahirkan di kota ini…. Bisa tertipu mentah-mentah setelah mau balik lagi ke kota ini. Bener-bener menyakitkan.
(cape deh…… entar sambung lagi yah…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pepatah

Kehormatan adalah ibarat sebuah pulau yang sangat curam tanpa tebing, sekali jatuh dari pulau itu tak dapatlah orang mendakinya kembali.