Kamis, Oktober 22, 2009

Oh... Rumahku.... (Bagian Pertama)

“Hallo…. Pak, bagaimana, apakah perlu saya kasih dp dulu biar buat tanda jadi aja?” ucapku pada pembicaraan kami di telepon untuk sekian kalinya.
“Ah… gak usah pak, saya percaya saja sama bapak”, jawabnya enteng tanpa beban.
“Alhamdulillah…. Kalo gitu, kita saling percaya aja ya pak”, ucapku berbunga-bunga, aku tengok istriku yang sedari tadi ada di samping, menempelkan kupingnya di gagang telepon yang lagi aku pegang. Tampak wajahnya sungguh sumringah. Aku sering melihat istriku temperamennya begitu kalau dia merasa bahagia dan bayangan cita-citanya atau yang diinginkannya sudah menemukan jalan terang dan diprediksi akan lancar tanpa hambatan.
Pembicaraan itu begitu akrab dan penuh kekeluargaan, antara dua pihak, di satu pihak aku dan istriku sebagai pihak pembeli dan di pihak lain adalah pak “Mar” (nama samaran) sebagai pihak penjual. Kami saat itu sedang bertransaksi jual beli sepetak rumah sangat sederhana di bilangan gang R, Jl Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Memang sangat sangat sederhana sekali rumah itu. Letaknya di tengah gang sempit yang agak siku, saking sempitnya itu gang, kalau kita punya motor vespa tahun 1977, gak bakalan masuk deh, hanya bisa dilalui motor bebek model sekarang yang ramping-ramping, itupun mesti dijalanin dalam keadaan mesin mati.
“Pokoknya begitu bapak menyerahkan uangnya, saya serahkan kuncinya”, begitu penegasan dari pak Mar.
Sudah beberapa kali kami terlibat pembicaraan mengenai jual beli rumah itu. Kesepakatannya: rumah itu dihargai 17 juta, akan kami bayar 10 juta dulu, dan yang 7 jutanya akan dibayar nyicil tiap bulan 1 juta. Cara pembayaran itu saya kemukakan pada pak Mar, sehubungan rumah saya yang ditempati sekarang hanya laku terjual 11 juta, dan yang 1 jutanya buat kami bayar2in segala macam yang tertunda, juga buat ongkos pindahan, bawa2 perlengkapan rumah dari Bojonggede ke Jakarta ini. Cara pembayaran itu sudah disepakati oleh pak Mar, dari awal-awalnya pembicaraan kami. Memang kami sempat bertemu satu kali ketika pak Mar mempersilahkan kami melihat2 keadaan rumah yang akan dijual itu, dan selanjutnya2 kami hanya berkomunikasi lewat telepon saja.
Rumahnya mungkin sekitar 4 x 4 m, belum ada listrik, belum ada septiktank, atapnyapun baru didak, gak tahu dicor tidaknya. Yang jelas katanya diatas buat jemur baju. Masih berantakan kondisinya, mungkin kalau buat anda yang tidak terbiasa hidup di lingkungan rumah2 kumuh, pasti akan mengangkat bahu merinding, tapi untungnya kami sudah pernah tinggal di daerah seperti itu. Kami sudah rencanakan, untuk merapihkannya biarlah sambil jalan - sambil ditempati…., hanya satu yang jadi pokok incaran kami…… rumah itu harganya murah bisa kejangkau, dan letaknya di tengah kota cing…..
Pak Mar ingin segera mendapatkan uang dari penjualan rumah itu guna membiayai operasi istrinya yang katanya terkena kanker rahim, biaya operasinya sekitar 11 jutaan, kalau dapat dari kami 10 juta sebagai pembayaran pertama, berarti dia tinggal mencari 1 juta lagi. Dan kami ingin segera pindah ke Ibukota ini karena kami sudah cape sekali tinggal jauh dari tempat kerja aku. Klop sekali kalau dipikir, dia ingin buru-buru jual itu rumah, dan kami ingin buru-buru beli itu rumah.
Sudah 6 tahun kami tinggal di daerah Bojonggede Bogor, disebuah perumahan sederhana, tempatnya cukup sejuk dan berudara masih bersih bila dibandingkan di kota Jakarta ini. Dan kerjaku pada siang hari di bilangan Tomang Jakarta Barat. Sedang malamnya aku kerja di bilangan Percetakan Negara Jakarta Pusat. Memang aku kerja di dua tempat berbeda, tapi satu bidang pekerjaan yaitu mengutak-atik kata biar jadi bacaan yang bisa dikonsumsi masyarakat luas, istilah kerennya aku ini seorang desainer majalah gicu…. Sudah lebih dari 10 tahun aku kerja di tempat kerjaanku yang siang ini, secara kebetulan seorang kenalanku yang menjadi bos salah satu biro setting rekanan angkatan darat menawariku kerja di bidang yang sama, yang bisa dilakukan malam hari. Pucuk dicinta ulam tiba dong…. Pasti aku sambut tawaran itu. Dan sudah berjalan lebih dari satu tahun aku bergabung dengannya.
Jadi selama hari kerja, seharian ditambah setengah malamnya aku habiskan hidupku di depan komputer. Datang pagi hari dan pulang malam hari.
Pulang kerja dari Jakarta jam 12 malam sampai rumah jam 2 atau jam 3 pagi, istirahat sejenak sambil ngobrol2 sedikit sama istriku. Itupun sambil menunggu datangnya kantuk, lalu kami tidur, disamping anak2 kami yang tidak merasa terganggu dengan kedatanganku. Dan jam 6 pagi kami sudah terbangun lagi, untuk mempersiapkan keberangkatan aku kerja lagi. Begitu dan begitu keadaannya setiap hari yang kami lewati. Untuk bertemu anak2ku, sangat sulit sekali, bayangkan saja, aku berangkat pagi sekali sebelum mereka terbangun, dan aku pulang saat mereka masih terlelap tidur. Hanya ada dua hari dalam seminggu yaitu hari Sabtu dan Minggu, kami bisa bertemu, karena itu hari libur aku dari tempat kerjaanku. Itupun kalau aku tidak lembur ditempat kerjaanku yang malam. (ikuti postingan selanjutnya “Tidur yang Berjalan”)
Keadaan yang demikianlah yang mendorong aku dan juga istriku yang selalu menyarankan untuk segera mencari rumah di daerah Jakarta, agar aku tidak terlalu cape diperjalanan, dan waktu bertemu anak2pun bisa diperpanjang.
Makanya begitu aku mendengar ada orang mau jual rumah buru2 karena butuh, kamipun segera menyambutnya. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pepatah

Kehormatan adalah ibarat sebuah pulau yang sangat curam tanpa tebing, sekali jatuh dari pulau itu tak dapatlah orang mendakinya kembali.