Kamis, Oktober 22, 2009

Oh... Rumahku.... (Bagian Kedua)

Tiba pada hari ‘H’nya untuk kepindahan kami, kami sudah pamitan sama tetangga, barang2 sudah dipak semua tinggal angkut ke mobil. Mobilnya pun sudah kami pesan sekalian. Barang2 seperti lemari besar yang diruang tamu, lemari pakaian, buffet dan satu set kursi tamu kami jual sekalian kepada orang yang beli rumah kami, Karena kami sadar akan menempati rumah baru yang ukurannya jauh lebih kecil nanti di Jakarta. Anak2 sudah kami sepakati untuk berangkat barengan dengan mobil yang ngangkut barang. Sedangkan aku berdua istri sudah berangkat duluan ke Depok, dimana disana kami akan melakukan transaksi jual beli rumah kami dengan pihak yang beli, disaksikan oleh seorang notaris.

Sambil menunggu kedatangan notaris, kami menyempatkan nelepon pak Mar dari sebuah wartel, yang mengabarkan bahwa kami akan melakukan transaksi jual beli rumah kami yang di Bojong sekalian menanyakan bagaimana nanti proses pembayaran ke pihak pak Mar. Dia bilang nanti kami datang saja ke rumahnya di daerah Pasar Ciplak Kali Malang karena dia takut membawa uang cash di jalanan. Oke kami sepakati itu.

Lancar dan aman sekali proses jual beli itu, jam 3 sore kami berdua sudah meluncur ke Jakarta dengan mengantongi uang cash 11 juta dan selembar kwitansi bermaterai yang tercantum didalamnya tanda tangan sah pembeli rumah kami. Kertas selembar itu yang menandai bahwa kami sudah tidak punya lagi rumah di daerah Bojonggede.

Karena kami tidak punya handphone waktu itu, kami sengaja mampir ke kantorku untuk menelpon pak Mar.

“Hallo… pak Mar? Apa kabar?” begitu sapaan mengawali pembicaraan kami ditelephone.

“Baik pak…” jawab pak Mar diseberang sana.

“Begini pak, uangnya 11 juta sudah ditangan kami. Kami sekarang ada di Jakarta, Bapak tunggu saja kami dalam setengah jam-an insya Allah nyampe di rumah bapak…” belum selesai kalimatku meluncur semua pak Mar memotongnya:

“Maaf pak, saya mau minta maaf nih….” Katanya.

“Kenapa pak?” tiba-tiba pertanyaanku meluncur mengiringi perasaan kagetku.

“Setelah saya ngobrol2 sama istri saya, ternyata istri saya tidak setuju….” Kata pak Mar lagi.

Tiba-tiba aku terhenyak dari tempat dudukku. Serasa sebuah petir telah menyambar di ubun-ubun kepalaku. Pandanganku tiba-tiba agak tersamarkan dengan warna kuning di mana-mana…. Kulihat istriku terpaku juga di sampingku.

“Istri saya tidak setuju dibayarnya nyicil begitu, dia maunya cash semuanya…. Sekaligus”, pak Mar melanjutkan tanpa bisa memperdulikan gejolak yang mulai timbul dalam otakku.

“Tapi kan kita sudah sepakat pak…”, hanya kalimat itu yang sempat meloncat dari mulutku, tersendat kuat… kuat sekali dalam kerongkonganku.

“Kalau bapak tidak bisa, tidak apa-apa…. Kita batalkan saja penjualan ini….” Ucap pak Mar memotong lagi. Memotong pembicaraan kami yang terakhir. Karena setelah itu aku dengar telepon diseberang diputus.

Giliran aku yang terpaku sekarang, dua lututku aku paksakan untuk menahan bobot tubuhku yang mulai gemetaran mau ambruk. Dengan gagang telepon masih ditangan, pikiranku segera melayang ke belahan bumi yang lain dimana anak2ku tengah duduk berdesak-desakan di dalam mobil yang sudah meluncur ke arah sini dengan membawa barang2 pindahan dari rumahku yang kini sudah jadi milik orang. Wajah mereka aku lihat berbinar2, karena merekapun memang sudah dari jauh2 hari membayangkan akan tinggal kembali di kota Jakarta yang ramai dipenuhi dengan mimpi2 yang menjanjikan.

Aku pijit tombol radial di telepon, terdengar nada terputus dari ujung sana… aku coba lagi…. Begitu dan begitu lagi suara yang terdengar…. Pak Mar sudah tidak mau lagi ngangkat gagang telepon…. Aku seakan divonis mati oleh orang yang baru aku kenal… yang aku kira ‘orang baik2 saja’, orang yang ‘baik hati’ sehingga mau menjual rumahnya dengan cara dicicil begitu….

Aku mau bilang, bahwa kami sudah tidak punya rumah lagi, anak2 dan barang2ku sudah ada diperjalanan ke sini, uang sudah ada di tangan kami….. mau diapakan uang sebesar ini di Jakarta yang butuh biaya hidup serba mahal. Uang sebesar ini tidak ada harganya buat membeli rumah di Jakarta…. Tapi pak Mar sudah memukulkan palu vonis di kepalaku, seperti seorang hakim yang ‘brangasan’, seperti malaikat Ijrail, seperti seorang konglomerat yang mencampakkan kami diantara tumpukan sampah, seperti…… yah sudahlah takdir Allah sudah menentukan begini…

Istriku ‘menggerung’ menahan tangisannya yang meledak, seperti suara mobil yang tengah menanjak sambil memikul beban berat dipunggungnya. Aku dekap istriku, biarlah dia nangis sejadi-jadinya di dadaku untuk beberapa saat.

“Allah sudah menentukan lain…” ucapku lirih, kepada istriku dan juga kepada hatiku yang terluka, tersayat, pedih, pedih sekali.

“Yah…. Sabarin aja Mah…. Mungkin Allah sedang menguji keimanan kita…”, hiburku buat istriku, dan buat hatiku sendiri. Entahlah istriku akan terhibur dengan ucapanku…. Karena aku sendiri tak yakin dengan ucapanku…

Setengah jam kami rembukan, untuk menentukan langkah selanjutnya…. Kami harus menghargai waktu sekarang, karena barang2ku yang akan tiba di Jakarta ini harus disimpan di mana, sedang waktu sudah merambat sore…. Sebentar lagi malam akan tiba...

Kami lanjutkan pembicaraan kami diatas sadel motor vespaku yang mulai merayap menyusuri hingar bingar kota Metropolitan. Berbagai solusi terlontar dari mulut kami, untuk segera kami putuskan dalam waktu yang mendesak ini.

Kalau aku bawa ke rumah mertua yang di Kramat Pulo….. mungkin untuk sebagian kecil barang2 bisa tertampung, tapi yang sebagian besarnya mau diapakan? Ah… gak mungkin kami numpang di rumah mertua….

Mau dibawa ke rumah orangtuaku di Bandung…. Mana mungkin perjalananan malam begini ke sana, mereka pun belum kami beritahu ihwal kepindahan kami ini, dan yang terutama sekali ongkosnya dari mana kami dapatkan dalam waktu sesingkat ini….

Aku mencoba mampir ke seorang kenalanku yang pernah menjabat sebagai DPRD dengan harapan mungkin bisa membantu atau paling tidak memberi jalan keluar, tapi beliau hanya bisa menghibur dengan mendoakan agar kami segera mendapatkan jalan terbaik yang harus kami tempuh. Sabarrrr.. itulah amanat yang beliau tanamkan di kepalaku.

Kata ‘Sabar’ mungkin tidak berlaku dalam keadaan mepet seperti ini Pak, biarlah akan kami pakai setelah semuanya ini berakhir, gerutuku (maaf ya Pak, saya berterus terang sekarang).

Waktu mobil yang membawa barang2 kami tiba, dan barang mulai diturunkan di pinggiran jalan, aku mulai merasa gerah. Bukan karena udara luar yang mulai merayapi badan, tetapi karena perasaan dan pikiran yang tidak karuan, sama halnya dengan istriku. Kami belum mendapatkan lokasi untuk menyimpan barang2 kami, untuk berlindungnya anak2 kami. Tetapi kami harus efisien dan tidak boleh salah lagi dalam mengambil keputusan untuk memecah-mecah uang kami, sebab uang ini bukan uang hadiah atau berasal dari ‘uang kaget’, tapi dari hasil penjualan rumah kami, yang latar belakangnya dari hasil jerih payah, banting tulang, kerja kerasku sedari bujangan dulu. Berarti itu adalah satu-satunya modal yang boleh dibilang yang aku tabung selama hidupku. Aku harus jadiin modal lagi buat meringankan hidupku dimasa datang.

Jarum jam di warteg seberang jalan menunjukkan pukul 9 lebih 15 waktu terlintas dalam ingatanku, ada seorang tetangga mertuaku yang katanya mau jual rumah seharga 28 juta, belum laku2 sampai sekarang. Karena memang letaknya agak susah, ada di sebuah gang kecil diantara rumah2 petak. Ukurannya kecil, hanya 2,5 x 5 meter, semi permanen, dibawahnya ditembok, lantai dua kayu semua yang agak berantakan, dan dibagian atapnya dibikinkan sebuah kamar yang kecil untuk memanfaatkan ruang kosong diantara plafon rumah dan genteng. Aku pikir cukuplah muat semua barang2ku kalau disusun rapi, biarlah tidak semua dipajang semestinya, yang penting bisa masuk dan kami bisa tidur malam ini dalam sebuah rumah, bukan di jalanan, layaknya orang yang tidak punya rumah.

“Saya berniat beli rumah itu, tapi saya mau nyoba dulu dengan ngontrak selama 1 tahun. Disamping uangnya baru terkumpul seluruhnya dalam setahun ini dan juga untuk mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, apa keluarga saya bisa cocok nggak dengan rumah ini, namanya kalau beli rumah kan bukan buat satu dua hari, tapi untuk selamanya”. Begitu ucapanku pada pemilik rumah itu. Entah karena melihat iming2 uang yang akan segera saya serahkan dalam beberapa detik ini untuk dia (maaf ya Bu, jangan tersinggung) atau karena kasihan melihat kondisi saya saat itu atau karena pertimbangan lain, saya tidak tahu. Yang jelas, kalau sama yang lain dia tidak mau mengontrakkan rumah itu, karena memang hanya berniat menjualnya. Tapi kalau sama kami dia langsung saja menyetujui permintaan kami. “Dil” pembicaraan kami, maka barteranlah beberapa lembar uang ratusan ribu dengan sepotong kunci rumah.

Mertua dan adik2nya istri segera membersihkan rumah, dan aku bersama istri segera shalat dan bersujud syukur, paling tidak mensyukuri kami bisa segera menempati sebuah rumah tetap mulai malam ini meskipun statusnya hanya ngontrak.

Para pembaca, secuil kisah ini aku hadirkan hanya untuk mengenang peristiwa musibah buat keluargaku, dan untuk pelajaran buat saudara2 pembaca agar tidak mudah percaya sama orang terutama di kota besar seperti Jakarta ini. Jangan seperti kami, karena kami biasa jujur sama orang dan selalu berusaha untuk bisa dipercaya orang, sehingga akhirnya kami gampang sekali mempercayai orang baru, yang ternyata bisa menjerumuskan kita pada kesengsaraan hidup. Kesepakatan HITAM DI ATAS PUTIH, walaupun hanya selembar, kiranya perlu sekali dilakukan untuk meneguhkan suatu perjanjian, terutama jual beli. Karena yang ‘selembar’ itu bisa kita jadikan senjata bila terjadi masalah pengingkaran dari perjanjian yang sudah disepakati. (Sekian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pepatah

Kehormatan adalah ibarat sebuah pulau yang sangat curam tanpa tebing, sekali jatuh dari pulau itu tak dapatlah orang mendakinya kembali.