Selasa, Juli 26, 2011

PAKU Kehidupan

PAKU. Sepanjang jalanan yang aku lalui dari kawasan industri Jababeka, menyusuri tepian Kali Malang, sampai di Jalan Mayjen D.I. Panjaitan, Casablanca, Tanah Abang sampai di Jatibaru, aku berhasil mengumpulkan kurang lebih 2 ons logam keras yang berujung lancip itu. Benda itu bertebaran di jalan raya yang biasa dilalui kendaraan besar dan kecil. Kondisinya dari yang sudah berkarat dan bengkok sampai yang masih lurus dan mengkilat. Ada yang begitu saja tergeletak di atas jalan raya atau disamping ‘polisi tidur’ ataupun ada yang nancap di karet sandal jepit atau kayu.

Aku memang iseng hari itu, dari pagi sampai siang hari berjalan sambil mendorong motor ‘bravo’ tuaku berpuluh kilo meter jaraknya dari rumahku yang terletak di Cikarang Bekasi menuju ke tempat kerjaku di daerah Tomang Jakarta Barat. Suatu perjalanan yang sangat melelahkan dan menyedihkan, tapi memang harus aku lakukan biar sampai di tujuan, untuk mencari nafkah buat keluarga.

Bensin di dalam tangki ‘bravo’ ku hanya cukup buat perjalanan dari keluar pagar rumah sampai di Jababeka, selanjutnya tangki bensin itu kosong ngegelontang sama sekali yang menyebabkan aku mesti jalankaki bergandengan dengan motor tuaku menghabiskan sisa perjalanan.

Kenapa hal ini bisa terjadi?

Seperti biasanya kalau aku pulang menafkahi keluargaku, semua penghasilan dari peras keringatku selalu aku serahkan semuanya ke tangan istriku. Biar dia yang mengatur2 untuk keperluan rumah tangga. Memang aku akui, aku sendiri tidak pandai untuk mengatur uang, ditambah karena memang uang yang dihasilkan sangat minim sekali, hanya naluri seorang ibulah yang bisa mengatur uang yang minim itu agar bisa dipergunakan seefisien mungkin. Aku memang salut dan bangga dengan kebisaan istriku. Terima kasih ya Allah, aku telah dikasih pendamping makhluk berjenis lain yang bisa membantu memecahkan masalah2 di kehidupan ini. Aku tidak mampu membayangkan jika aku hidup sendiri tanpa dia untuk mengurusi ke lima anakku yang semuanya sangat memerlukan perhatian tersendiri.

Berangkat kerja pagi itu, aku hanya kebagian jatah uang delapan ribu perak buat bensin dari istriku. Aku hanya bisa menelan ludah dan mengurut dada. Sudah terbayang dikepalaku berapa puluh kilometer aku harus berjalan kaki setelah bensin yang bisa dibeli dengan uang segitu, habis. Tapi demi mencari nafkah buat keluarga yang harus aku hasilkan dari bekerja di tempat kerjaku di Jakarta itu, aku harus lakonin. Jadilah aku mengumpulkan benda2 berbentuk silinder berbahan dasar besi-baja dan berujung runcing itu.

Daripada hanya mengutuki nasib yang kian tak menentu di jaman seperti ini, sepanjang perjalanan itu, aku pungutin logam2 itu sambil berharap dalam hati mudah2an jadi amal kebaikan, karena akan sedikit mengurangi resiko kempesnya ban kendaraan2 orang lain yang melintasi di jalan itu.

Tapi di sisi lain, aku memunguti benda2 itu sambil bersumpah serapah juga. Karena akibat dari benda ini pernah suatu hari aku diceramahi, disumpah serapahi dan dibiarkan kelaparan oleh ibunya anak2 karena aku pulang hanya membawa uang sekedarnya, malahan hp ku aja aku agunkan di tukang tambal ban. Sehari itu ban motor ku kempes 4 kali yang paling parah yang terakhir kali, karena yang nancap paku bengkok berukuran 5 cm yang membuat ban dalam motorku robek tidak bisa ditolong dengan ditambal. Akhirnya aku ganti dengan yang baru dan aku nitipkan hp ku karena uang di dompetku tinggal jatah belanja buat orang rumah itupun sudah banyak berkurang terpakai buat nambal. Oh nasiiiibb…

Kenapa pak? Bensinnya habis? Mogok? Aku hitung ada 6 orang yang berbaik hati para lelaki yang kebetulan lewat menanyakan itu padaku, sambil menawarkan untuk mendorong motorku. Aku tolak dengan sopan. “Saya dorong sambil nunggu teman yang mau jemput, terima kasih”. Mereka pun berlalu mendahuluiku. Aku gak mau menyusahkan mereka, karena malu pada diri sendiri, dulu sewaktu aku bawa vespa sering juga ditolong orang kalau mogok, tapi aku sendiri belum bisa nolong orang lain karena ilmu perbengkelanku masih nol, dan aku paling gak bisa men-step motor mogok dengan kakiku.

Ada 2 diantara mereka yang pasti menggerutu dalam hatinya karena aku tolak ajakan mereka, gimana aku gak nolak…. Aku gak punya uang sepeserpun sedengkeun mereka itu kan perlu buat nguber setoran, karena mereka itu tukang ojek motor…. Tapi lucu juga kan….. kalau tukang ojek dimintain duit ngojek sama tukang ojek lagi…. (aku kan suka ngojek juga diluar jam kerja, alias tukang ojek malam)

Kembali ke soal benda yang selalu berdampingan dengan martil atau palu besi itu, aku jadi berpikir, apa mungkin benda2 itu berasal dari mobil toko bahan bangunan yang ngangkutnya dan secara tak sengaja berjatuhan di jalan, atau karena orang2 yang tega dengan sengaja menyebarkan benda itu di jalanan. Sungguh busuk hati mereka itu. Tapi kalau mereka itu rakyat kecil yang karena terpaksa melakukan itu karena tuntutan dapur, gimana hukumnya ya dalam agama kita? Eh tapi ada yang lebih busuk lagi yaitu kalau ‘paku’ itu ditebarkan dengan tujuan untuk menjegal lawan politiknya agar tidak bisa maju melesat melewati dia yang bekerja dengan lemah gemulai dan bermalas-malasan. Itu kebusukan yang parah bukan?

Ah, sengaja tempatnya para pemimpin politik di Senayan sana aku tidak lewati, aku lebih suka menyisir jalanan pinggiran kota ke arah Tanah Abang, Jatibaru dan Kota Bambu. Ke tempatnya rakyat negeri ini bergelut dengan kenyataan hidup di lapangan yang kumuh dan kotor tapi jauh dari politik2 kotor.

Terakhir….. Ternyata PAKU dan KOTOR itu telah membuat kesusahan yang lebih parah padaku. Di jalanan yang berdebu karena sudah lama hujan tidak melintas di kota Metropolitan ini, benda tajam dan berkarat juga kotor itu sudah nancap di sandal yang aku pakai, nembus sampai melukai telapak kakiku. Aku tertatih2 minggirin motorku, dan duduk sambil menahan rasa sakit di kaki dan sakit di dadaku, karena jantungku berdebar sangat kencang akibat kecapean.

Setengah jam kemudian aku baru bisa bernapas agak lega, dengan sekaan keringat terakhirku aku memarkirkan motor tuaku di parkiran rumah sakit, dimana kantorku bertengger di sana. Alhamdulillah sampai juga di tujuan.

Dan sampai jumpa di tulisan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pepatah

Kehormatan adalah ibarat sebuah pulau yang sangat curam tanpa tebing, sekali jatuh dari pulau itu tak dapatlah orang mendakinya kembali.