Hari ini Senin, 29 Agustus 2011, aku bersama anakku yang paling gede berangkat ke Bandung, mencoba-coba mudik Lebaran dengan menggunakan kereta odong-odong, yakni kereta rakyat yang murah meriah, dari stasiun Cikarang Bekasi menuju stasiun Purwakarta. Nanti dari Purwakarta ganti kereta yang menuju ke Cibatu Garut, dan turunnya di stasiun Bandung.
Lebaran tahun ini adalah lebaran yang paling prihatin buat keluargaku, karena uang THR yang didapat dari kantor dimana aku kerja, hanya dicairkan satu bulan gaji pokok saja. Padahal, ini padahalnya…. Uang THR ini sudah dari jauh-jauh harinya dicanangkan sebagiannya buat nutupin utang-utang kepada tetangga yang aku pinjam buat anak sekolah dan buat modal dagang di warung kecilku.
Ada dua alasan memang yang membuat aku ambil keputusan berangkat berdua saja sama anak ke Bandung dan merayakan lebaran disana bersama orang tuaku, sedangkan istri bersama 3 anak lainnya berlebaran di Jakarta di rumah orangtuanyanya alias mertoku. Alasan pertama yaitu tadi karena Uang THR yang tidak memungkinkan buat ongkos pulang rame-rame ke Bandung, dan yang keduanya karena anakku yang baru 14 bulan sudah diwanti-wanti sama dokter yang pernah merawatnya di rumah sakit agar anak itu jangan dulu diajak jalan jauh-jauh, agar kondisinya tidak lebih parah dari sekarang. Anakku pernah kejang-kejang beberapa hari lalu sampai-sampai harus dilarikan ke rumah sakit, untung saja tidak sampai dirawat.
Kalau aku tidak pulang berlebaran di Bandung, aku tidak tega sama orang tuaku, karena tahun lalu saja kami berlebaran di Jakarta, sedangkan aku adalah anak satu-satunya yang mereka punya. Gimana perasaan mereka kalau melihat orang-orang lain yang punya banyak anak dan jauh-jauh tinggalnya bisa pada ngumpul semua, sedangkan orangtuaku yang hanya punya anak aku seorang, tinggal tidak begitu jauh dari Bandung, tidak bisa pulang. Satu alasan tambahan kenapa aku harus berlebaran di Bandung, karena anakku yang kedua yang aku titipkan di orang tuaku semenjak bayi… diapun mengharapkan kami pulang saat lebaran ini.
Alhamdulillah, dalam kereta api semenjak dari Cikarang, sampai di Purwakarta, dan disambung lagi menuju ke Bandung, enak sekali rasanya, tidak penuh sesak seperti biasanya, malahan bisa selonjoran sampai bosen sendiri. Kata orang-orang yang sehari-hari naik kereta itu, kalau kemarin-kemarinnya padat sekali, tapi hari ini karena hari takbiran, yang pada pulang mudik sudah habis, jadi tinggal sisa-sisanya saja yang ada dalam kereta ini sebagai penumpang mudik, termasuk aku bersama anakku.
Sampai di Bandung, berbagai persiapan untuk menyambut datangnya hari Lebaran di keesokan harinya sudah dimulai sejak pagi, dari mulai membuat ketupat, membuat sayur lauknya ketupat, bersih-bersih rumah dan perabotan di ruang tamu sampai ke menyisihkan sebagian beras secukupnya buat zakat fitrah.
Saat tiba waktunya berbuka puasa di hari terakhir itu, kami jalani sebagaimana biasanya, dengan penuh sukacita meskipun dengan hidangan seadanya. Maklum keluargaku bukanlah keluarga keturunan orang berada. Dan meskipun ada lauknya yang istimewa, kan itu jatah buat hari Lebaran besok hari.
Baru pada saatnya dikumandangkannya azan Isya, masyarakat di sekitar tempatku berada pada kebingungan, setelah shalat Isya apa langsung mau mengumandangkan takbiran atau harus shalat tarawih lagi, karena pengumuman dari Menteri Agama RI sebagai acuan untuk menentukan besok lebaran tidaknya belum juga kunjung terdengar.
Tapi begitu yang ditunggu-tunggu itu tiba, pengumuman itu, banyak orang yang terperangah, bingung, “1 Syawal yang tertera di kalender tanggal 30 Agustus itu diundur menjadi tanggal 31 Agustus lusa”.
Banyak masyarakat yang sudah berkumpul untuk melaksanakan takbiran keliling akhirnya bubar, ada pejabat yang terpaksa meralat jadwal open house, dengan sendirinya pihak penyedia tempat dan makanan harus menanggung resiko kerugian akibat dimundurkannya hari ‘H’ nya itu. Pelaksanaan Shalat Tarawih terpaksa diundur sampai jam 8 lewat, padahal biasanya kan dilaksanakan begitu selesai shalat Isya.
Ada ustad yang hidupnya pas-pasan karena hidupnya terlalu jujur, terpaksa harus menambal lagi nyari nafkah dari kerjaan sampingan untuk nutupin satu hari lagi berpuasa, padahal sudah siap-siap untuk menerima imbalan dari khutbah Idul Fitrinya pada hari besok yang memang sudah dicanangkan buat keperluan lebaran.
Ada masyarakat yang terpaksa harus mengelus dada dan menahan dagu begitu tibanya hari ‘H’ nya lebaran itu, karena biaya buat lebaran yang memang pas-pasan sudah dibelanjain semua buat lebaran tgl 30 Agustus, terpaksa dimakan dan dipakai di hari terakhir bulan puasa, dan pada hari lebarannya yang tgl 31 Agustus itu harus nahan lapar.
Gak jauh berbeda dengan keadaan keluargaku, aku sudah ditelponin bini dari Jakarta yang katanya sudah kehabisan uang dan makanan buat hari lebaran yang diundur itu. Puyenglah jadinya aku. Pening…. Pening….. begitu kata bang Poltak.
Dari sisi keagamaan memang dengan diundurnya hari Lebaran itu jadi untunglah kita karena nambah satu hari lagi peluang buat beribadah di bulan Ramadhan ini, tapi disisi yang lain…. Ya…. Itu tadi…. Pening… pening…… peninglah aku…
Memang kejadian Lebaran yang berbeda-beda ini sudah seringkali terjadi di negeri ini, yang paling parah yah tahun 2011, gimana tidak masa’ ada yang lebaran hari Senin, Selasa, Rabu, bahkan hari Kamis.
Selaku orang awam seperti saya ini, hanya bisa berharap kapan di negeri ini para pemimpin agama Islam ini bisa bersatu, paling tidak bisa menyatukan pendapat dan menggiring umatnya dalam persatuan. Jangan sampai kejadian yang diramalkan Nabi Besar Muhammad SAW dulu dalam sabdanya: akan tiba masanya dimana umat Islam ini besar sekali tapi seperti buih di lautan, yang mudah sekali dicerai beraikan oleh ombak atau umat lain. Padahal umat Islam di negeri ini adalah mayoritas, bahkan terbanyak dan terbesar di seluruh dunia, tapi mengapa tidak mampu seiring dalam menentukan sesuatu yang menyangkut hajat orang banyak seperti penentuan hari ‘H’ nya lebaran ini.
Saya pikir kita sudah waktunya punya para pemimpin yang konsisten dan konsekuen baik waktu dia belum duduk ataupun sudah duduk menjadi petinggi-petinggi pemerintahan, dia bisa memimpin umat, mengayomi umat dan melindungi umat tanpa harus takut dipecat karena keteguhan niatnya dalam berjalan dikoridor keagamaan yang diyakininya.
Eh…. Ko’ saya jadi bicara soal politik ya….. maaf, tapi memang itulah yang terbersit dalam pikiran saya setelah melihat kenyataan hidup ini.
Kembali ke masalah lebaran yang berbeda-beda ini, saya selaku rakyat awam yang tidak tahu apa itu sidang isbath, hisab atau perhitungan jalannya bulan ataupun rukyat dengan pengamatan hilalnya. Yang terpenting berharap kalau dikalender sudah ditentukan tanggal 1 Syawal sebagai hari Lebaran itu, ya harus itulah yang kita pakai sebagai penentuan yang sudah digariskan pemerintah yang harus kita ikuti. Mudah-mudahan dengan begitu tidak menjadikan umat ini bingung, dan tidak terjadi lagi dualisme hari Lebaran.